Jangan
kaget jika kotamu gelap mendadak pada tanggal 31 Maret 2012,
Pkl.20.30-21.30 waktu setempat. Pasalnya, Earth Hour kembali digelar di
Indonesia untuk keempat kalinya.
Tahun ini, ada 26 kota di
Indonesia turut berpartisipasi memadamkan lampu. Miliaran penduduk dunia
di ribuan kota lain juga akan secara sukarela melakukan hal yang sama.
Gerakan secara bersama-sama memadamkan lampu ini berawal di Sydney pada
2007. Adalah WWF-Australia, Fairfax Media, dan agen periklanan Leo
Burnett Sydney pertama kali melakukannya. Saat itu, mereka ingin
mengurangi gas rumah kaca pemicu pemanasan global di kota Sydney sebesar
5%.
Mereka lalu mencari aksi sederhana yang bisa dilakukan
bersama-sama oleh semua orang dari berbagai kalangan untuk mencegah
meluasnya dampak pemanasan global.
Earth Hour atau gerakan
mematikan lampu selama satu jam itu ingin mengingatkan bahwa siapapun
kita, apapun latar belakang kita, di manapun kita berada, kita
berpotensi untuk melakukan hal yang membantu Bumi.
Anak-anak,
pelajar, politisi, CEO perusahaan, sampai kakek nenek bisa
berpartisipasi dalam Earth Hour. Di tahun perdananya, ada 2,2 juta warga
Sydney yang berpartisipasi di Earth Hour, memadamkan lampu mereka
selama satu jam.
Di tahun kedua penyelenggaraannya, ide ini
disambut baik oleh Kanada. Hanya dalam waktu singkat, 35 negara langsung
bergabung mendukung Earth Hour. Baru pada tahun ketiga pelaksanaan
Earth Hour internasional, Indonesia menyusul, tepatnya pada 2009.
Saat itu, hanya Jakarta saja yang mengikuti Earth Hour. Biarpun
sendirian, Earth Hour di Jakarta telah menghemat 50 Megawatt dari
pemadaman lima ikon Ibu Kota.
Pemilihan Jakarta sebagai kota
pertama tempat dilakukannya Earth Hour di Indonesia memiliki alasan
kuat. Selain statusnya sebagai Ibu Kota, konsumsi listrik warga Jakarta
juga tinggi.
Berdasarkan data konsumsi listrik tahun 2008,
total 23% konsumsi listrik Indonesia terfokus di DKI Jakarta dan
Tangerang. Itu untuk skala kota. Jika melakukan perbandingan antar
pulau, maka wilayah Jawa-Bali adalah konsumen listrik terbesar di
Indonesia. Sebesar 78% konsumsi listrik negara terpusat di kedua pulau
ini.
Sementara pulau-pulau lain belum mendapat akses listrik
yang merata, kita yang tinggal di Jawa Bali bisa menikmati listrik
sepuasnya, bahkan cenderung boros, dan langsung merengut saat mengalami
pemadaman bergilir.
Padahal, kalau 10% warga Jakarta saja
melakukan penghematan listrik saat Earth Hour, energi yang dihemat bisa
bermanfaat memenuhi kebutuhan listrik di 900 desa dan menyediakan
oksigen bagi 534 orang. Itu baru satu jam, apalagi kalau kita berhemat
terus menerus?
Banyak orang bertanya, mengapa hanya satu jam?
Apakah penghematan satu jam dalam setahun cukup untuk “menebus dosa”
pemborosan energi listrik yang kita lakukan bertahun-tahun? Tentu saja
tidak. Dan “penebusan dosa” bukan tujuan Earth Hour.
Momen
satu jam ini merupakan pengingat bagi kita semua tentang efek dahsyat
upaya bersama menghemat energi. Seperti peribahasa yang kita kenal,
“Sedikit-sedikit, lama-lama menjadi bukit.” Hal kecil jika dilakukan
bersama-sama akan berdampak besar, seperti mematikan lampu dan alat
elektronik lainnya yang tidak terpakai di rumah maupun kantor.
Di luar waktu satu jam pemadaman, justru yang lebih penting adalah
menjadikan Earth Hour dan aksi go green lainnya sebagai gaya hidup.
Sejalan dengan prinsip tersebut, sejak tahun 2011, ada tanda plus (+) di
belakang angka 60 yang menjadi simbol Earth Hour. Ajakannya adalah,
setelah 1 jam, jadikan hemat energi sebagai gaya hidup.
Untuk
pelaksanaan Earth Hour pada 2012, targetnya hanya 7 kota yang akan jadi
peserta. Ternyata, malah ada 26 kota di Indonesia yang akan
berpartisipasi. Hebatnya lagi, tidak semua dari 26 kota yang akan ikut
serta itu boros energi seperti halnya Jakarta atau Tangerang.
Alasan mereka sungguh sedap didengar: untuk apa menunggu boros terlebih
dulu kalau kita bisa melakukan penghematan sejak sekarang?
“Pelipatgandaan jumlah kota yang berpartisipasi dalam Earth Hour tahun
ini adalah salah satu indikator meningkatnya kepedulian publik terhadap
isu-isu lingkungan khususnya hemat energi dan gaya hidup hijau.
Perkembangan positif ini dimotori oleh para “jawara” komunitas dari
kalangan pelajar, mahasiswa, profesional, bisnis, dan pemerintah di kota
masing-masing. Semoga momen ini menjadi awal dari semakin banyak aksi
yang kita lakukan bagi kelestarian rumah tunggal kita, planet Bumi,”
ujar Nyoman Iswarayoga, Direktur Program Iklim & Energi
WWF-Indonesia.
Read more…